Dampak Pembangunan terhadap Petani, Nelayan dan Kelompok Miskin Kota


1.      Dampak Pembangunan terhadap Petani
Salah satu dampak pembangunan yang meminggirkan para petani dari aset produktifnya adalah pengalihfungsian lahan yang mengatasnamakan pembangunan. Presepsi pembangunan yang tidak seimbang antara sektor industri dengan sektor pertanian mengakibatkan adanya kelompok-kelompok petani yang terpinggirkan karena adanya proses pembangunan tersebut. Contohnya adalah pada kasus rencana pembangunan bandara di Kabupaten Majalengka yang akan mengkonversi 3.000 hektare lahan pertanian. Alih fungsi lahan seluas itu juga mengubah akses petani terhadap air irigasi dan air tanah di sekitar lokasi pembangunan tersebut. Sumber daya air di lokasi bandara dan sekitar bandara tidak lagi dapat diakses untuk kepentingan pertanian karena kelak akan dijadikan air baku untuk kepentingan bandara tersebut. Kondisi demikian akan memengaruhi produksi dan produktivitas sektor pertanian sangat signifikan.
Perubahan budaya tani dan suksesinya sebagai dampak alih penguasaan dan alih fungsi lahan pertanian sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial-psikologis petani. Kebijakan pembangunan yang memprioritaskan pembangunan kota (urban development strategy) telah menimbulkan ketimpangan struktur perekonomian wilayah. Strategi pembangunan perkotaan telah memarjinalkan posisi dan status sektor pertanian sebagai dampak peralihan fungsi dan penguasaan lahan pertanian guna mendukung kelancaran pembangunan sektor yang lebih menguntungkan.
Marjinalisasi peran sektor pertanian telah memundurkan posisi dan status kegiatan pertanian ke dalam status pertanian subsisten dan untuk bertahan hidup (survival agriculture) di tengah-tengah gemuruh pembangunan serta modernisasi wilayah perkotaan. Kegiatan pertanian semakin dianggap sebagai kegiatan kampungan (ndeso) dan tidak memiliki prestise sebagaimana halnya dengan kegiatan yang memberikan pemasukan rutin dan sinambung seperti kegiatan di sektor industri dan jasa. Gejala ini digambarkan dengan sikap kebanggaan pekerja sektor industri atau perdagangan yang mampu menjaga ketenteraman keluarganya dengan kata-kata “menunggu gajian”. Hal ini sangat kontras dengan kondisi petani subsisten di wilayah peri-urban yang tidak mampu mencari kata-kata penenteram bagi keluarganya selain menunggu panen yang belum tentu menunjukkan keberhasilan yang memuaskan.
Dari sisi teknis dan teknologi, marjinalisasi sektor pertanian yang diakibatkan oleh penyempitan penguasaan lahan telah memundurkan proses adopsi teknologi oleh petani. Dengan pemilikan lahan yang relatif luas, sarana produksi akan yang mudah diperoleh, dan ketersediaan air irigasi terjamin, kegiatan usaha tani masih dapat memberikan jaminan penghidupan relatif baik. Namun, berbeda halnya ketika lahan yang dimiliki itu sempit. Peralatan dan sarana produksi bagi para petani gurem sangat sulit untuk diperoleh, mengingat hasil panen yang tidak banyak.
Pemanfaatan teknologi tepat guna menjadi menurun secara kuantitatif dan kualitatif karena ekosistem setempat tidak mampu memberikan dukungan seperti semula. Konsekuensinya adalah produksi dan produktivitas pertanian menurun secara dramatis. Kemunduran pemanfaatan teknologi pertanian seperti yang disebutkan di atas merupakan gejala evolusi pertanian yang bersifat negatif. Dengan kata lain, kegiatan pertanian di lahan pertanian yang termarjinalisasi oleh kebijakan pembangunan mengalami involusi atau evolusi mundur.
Lebih jauh lagi, sikap keluarga tani juga tidak mendorong generasi berikutnya untuk berkiprah di sektor pertanian. Berbagai kasus pengalihan kepemilikan lahan, selain didorong oleh kebutuhan uang untuk beralih usaha (migrasi profesi), juga didorong oleh kebutuhan meningkatkan pendidikan generasi berikutnya ke tingkat yang lebih tinggi dengan harapan mereka tidak lagi harus bekerja sebagai petani gurem. Dampak migrasi kegiatan ini adalah kelangkaan tenaga kerja sektor pertanian di pedesaan karena sebagian besar tenaga produktif kini bekerja di sektor nonpertanian. Tenaga kerja sektor pertanian menjadi semakin mahal dan menyebabkan insentif kegiatan di sektor pertanian menurun.

1.      Dampak Pembangunan terhadap Petani
Salah satu dampak pembangunan yang meminggirkan para petani dari aset produktifnya adalah pengalihfungsian lahan yang mengatasnamakan pembangunan. Presepsi pembangunan yang tidak seimbang antara sektor industri dengan sektor pertanian mengakibatkan adanya kelompok-kelompok petani yang terpinggirkan karena adanya proses pembangunan tersebut. Contohnya adalah pada kasus rencana pembangunan bandara di Kabupaten Majalengka yang akan mengkonversi 3.000 hektare lahan pertanian. Alih fungsi lahan seluas itu juga mengubah akses petani terhadap air irigasi dan air tanah di sekitar lokasi pembangunan tersebut. Sumber daya air di lokasi bandara dan sekitar bandara tidak lagi dapat diakses untuk kepentingan pertanian karena kelak akan dijadikan air baku untuk kepentingan bandara tersebut. Kondisi demikian akan memengaruhi produksi dan produktivitas sektor pertanian sangat signifikan.
Perubahan budaya tani dan suksesinya sebagai dampak alih penguasaan dan alih fungsi lahan pertanian sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial-psikologis petani. Kebijakan pembangunan yang memprioritaskan pembangunan kota (urban development strategy) telah menimbulkan ketimpangan struktur perekonomian wilayah. Strategi pembangunan perkotaan telah memarjinalkan posisi dan status sektor pertanian sebagai dampak peralihan fungsi dan penguasaan lahan pertanian guna mendukung kelancaran pembangunan sektor yang lebih menguntungkan.
Marjinalisasi peran sektor pertanian telah memundurkan posisi dan status kegiatan pertanian ke dalam status pertanian subsisten dan untuk bertahan hidup (survival agriculture) di tengah-tengah gemuruh pembangunan serta modernisasi wilayah perkotaan. Kegiatan pertanian semakin dianggap sebagai kegiatan kampungan (ndeso) dan tidak memiliki prestise sebagaimana halnya dengan kegiatan yang memberikan pemasukan rutin dan sinambung seperti kegiatan di sektor industri dan jasa. Gejala ini digambarkan dengan sikap kebanggaan pekerja sektor industri atau perdagangan yang mampu menjaga ketenteraman keluarganya dengan kata-kata “menunggu gajian”. Hal ini sangat kontras dengan kondisi petani subsisten di wilayah peri-urban yang tidak mampu mencari kata-kata penenteram bagi keluarganya selain menunggu panen yang belum tentu menunjukkan keberhasilan yang memuaskan.
Dari sisi teknis dan teknologi, marjinalisasi sektor pertanian yang diakibatkan oleh penyempitan penguasaan lahan telah memundurkan proses adopsi teknologi oleh petani. Dengan pemilikan lahan yang relatif luas, sarana produksi akan yang mudah diperoleh, dan ketersediaan air irigasi terjamin, kegiatan usaha tani masih dapat memberikan jaminan penghidupan relatif baik. Namun, berbeda halnya ketika lahan yang dimiliki itu sempit. Peralatan dan sarana produksi bagi para petani gurem sangat sulit untuk diperoleh, mengingat hasil panen yang tidak banyak.
Pemanfaatan teknologi tepat guna menjadi menurun secara kuantitatif dan kualitatif karena ekosistem setempat tidak mampu memberikan dukungan seperti semula. Konsekuensinya adalah produksi dan produktivitas pertanian menurun secara dramatis. Kemunduran pemanfaatan teknologi pertanian seperti yang disebutkan di atas merupakan gejala evolusi pertanian yang bersifat negatif. Dengan kata lain, kegiatan pertanian di lahan pertanian yang termarjinalisasi oleh kebijakan pembangunan mengalami involusi atau evolusi mundur.
Lebih jauh lagi, sikap keluarga tani juga tidak mendorong generasi berikutnya untuk berkiprah di sektor pertanian. Berbagai kasus pengalihan kepemilikan lahan, selain didorong oleh kebutuhan uang untuk beralih usaha (migrasi profesi), juga didorong oleh kebutuhan meningkatkan pendidikan generasi berikutnya ke tingkat yang lebih tinggi dengan harapan mereka tidak lagi harus bekerja sebagai petani gurem. Dampak migrasi kegiatan ini adalah kelangkaan tenaga kerja sektor pertanian di pedesaan karena sebagian besar tenaga produktif kini bekerja di sektor nonpertanian. Tenaga kerja sektor pertanian menjadi semakin mahal dan menyebabkan insentif kegiatan di sektor pertanian menurun.

2.      Dampak Pembangunan terhadap Nelayan
Pada masa Orde Baru, pemerintah tidak hanya melakukan pembangunan dalam bidang pertanian saja (revolusi hijau), tetapi juga melakukan pembangunan dalam bidang kelautan dan perikanan melalui revolusi birunya (blue revolution). Revolusi biru adalah upaya yang dilakukan pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat nelayan melalui adopsi teknologi modern, sehingga jumlah ikan yang mampu ditangkap oleh para nelayan semakin banyak.
Dampak pembangunan dari revolusi biru ini memang pada satu sisi mampu meningkatkan jumlah tangkapan nelayan modern, tetapi pada sisi yang lain semakin meminggirkan para nelayan tradisional. Bukan karena nelayan tradisional tidak ingin menggunakan peralatan canggih yang dapat meningkatkan hasil tangkapannya, melainkan karena mereka tidak mampu membeli peralatan modern tersebut yang relatif mahal. Peningkatan hasil tangkapan ikan pada nelayan modern juga berdampak sebaliknya pada hasil tangkapan ikan nelayan tradisional yang semakin berkurang. Akibatnya terjadi kesenjangan ekonomi yang begitu nyata antara nelayan tradisional dengan nelayan yang menggunakan peralatan modern.  Keadaan ini mengakibatkan adanya kecemburuan sosial dari nelayan tradisional terhadap nelayan modern.

3.      Dampak pembangunan terhadap Kelompok Miskin Kota
John Haba (Suara Pembaruan, 12/8/1997), mensinyalir, masalah kemiskinan terangkat ke permukaan dihubungkan dengan sejumlah penyebab. Pertama, kemiskinan dilihat sebagai determinan faktor yang menghalangi derap maju pembangunan, sebab orang atau masyarakat miskin dianggap tidak punya keterampilan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. Kedua, kemiskinan adalah musuh peradaban manusia dan modernisasi. Artinya, arus pembangunan yang berlangsung cepat ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Tetapi di sinilah paradoks dari modernisasi itu sendiri yang kadang kala menyeret hidup manusia ke dalam kemelaratan. Ketiga, kemiskinan ditetapkan sebagai bagian dari kebijakan nasional.
Prijono Tjiptoherijanto (1997), melihat beberapa alasan penting, mengapa masyarakat miskin kota perlu mendapat perhatian untuk ditanggulangi. Pertama, karena kemiskinan merupakan kondisi yang kurang beruntung, karena bagi kaum miskin, akses terhadap perubahan politik institusional terbatas. Kedua, kemiskinan merupakan kondisi yang cenderung menjerumuskan orang miskin ke dalam tindak kriminalitas. Ketiga, bagi pembuat kebijaksanaan, kemiskinan itu sendiri mencerminkan kegagalan pelaksanaan pembangunan yang telah dihadapi pada masa lampau.
Kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi pada masyarakat miskin kota akan mengakibatkan: (1) tingginya beban sosial ekonomi masyarakat; (2) rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia; (3) rendahnya partisipasi aktif masyarakat; (4) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; (5) kemungkinan pada merosotnya mutu generasi yang akan datang (Dirjen Cipta Karya, 2005).



Baca juga artikel terkait lainnya:

1. Pengertian Eksklusi Sosial
2. Dimensi-Dimensi Eksklusi Sosial



Sumber Referensi:

Yulifar, Leli. 2010. Handbook Sosiologi dan Antropologi Pembangunan. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial – Universitas Pendidikan Indonesia.
Mansyur, M. Cholil, 1999, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Usaha Nasional, Surabaya
Michael P. Todaro, 1998, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta (Alih Bahasa : Haris Munandar).
Kementrian Pertanian, 2011, Konversi dan Fragmentasi Lahan. Bogor: IPB Press
Nurdin, Fadhil. 2015, Eksklusi Sosial dan Pembangunan, Bandung: Universitas Padjadjaran.
Lawang, Robert  MZ, Beberapa Hipotesis tentang Eksklusi Sosial di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial Mamangan. Volume 1, 2014.
LihatTutupKomentar

Iklan